Kepemimpinan ala si Introvert

Nama : Marry Anjel Nicholin Dose Ba

Nim : 22.P1.0012

Konteks dan Latar Belakang Personal

        Kepribadian ISFP-T (Introverted, Sensing, Feeling, Perceiving) atau yang dikenal sebagai The Adventurer mencerminkan sosok yang tenang, reflektif, peka terhadap lingkungan sekitar, serta lebih suka menunjukkan kepemimpinan melalui tindakan nyata ketimbang banyak bicara1.

         Sebagai seorang introvert, saya cenderung berpikir matang sebelum bertindak, lebih suka mendengar dan mengobservasi, dan merasa nyaman bekerja dalam suasana yang tenang serta mendalam. Dalam konteks kepemimpinan, saya lebih cocok dengan pendekatan yang tidak konfrontatif, tapi justru mengutamakan empati, kedekatan personal, dan pemberdayaan sesama. Sisi Feeling membuat saya sangat memperhatikan dampak keputusan terhadap orang lain, sedangkan Perceiving menjadikan saya fleksibel dan mudah beradaptasi. Hal ini sangat bermanfaat dalam konteks pelayanan kesehatan, terutama saat menghadapi situasi kompleks dan lintas sektor seperti penanganan TB-HIV maupun peningkatan mutu di fasilitas layanan kesehatan. Bagi saya, memimpin bukan berarti selalu berada di depan, melainkan hadir secara otentik dan membangun rasa percaya dari dalam.

Model Kepemimpinan yang Relevan

    Model kepemimpinan yang paling relevan dengan kepribadian saya adalah kepemimpinan demokratis (Democratic Leadership). Model ini dalam pengambilan keputusan dilakukan secara partisipatif, dimana setiap anggota tim didorong untuk menyampaikan ide, kritik, serta kontribusinya secara setara2. Model ini sangat sejalan dengan kepribadian ISFP-T yang menghargai kebebasan individu namun tetap menjunjung tinggi kerja sama dan kepercayaan. 
        Sebagai pemimpin, saya merasa lebih nyaman jika anggota tim tidak hanya mengikuti instruksi, tetapi juga merasa memiliki, dilibatkan, dan didengarkan. Kepemimpinan demokratis memungkinkan terjadinya dialog dua arah yang sehat, serta membangun rasa tanggung jawab bersama. Nilai ini sangat penting dalam dunia pelayanan kesehatan, di mana keberhasilan kerja lintas profesi dan program sangat ditentukan oleh sejauh mana kolaborasi dan komunikasi berjalan efektif. Saya dapat menjalankan kepemimpinan yang tenang namun berdampak: menggerakkan tim tanpa tekanan, menginspirasi lewat tindakan, dan menjaga suasana kerja yang kolaboratif serta penuh empati.

Aplikasi Model Kepemimpinan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

        Dalam konteks pelayanan kesehatan tingkat pertama seperti di Puskesmas, penanganan penyakit TB-HIV memerlukan pendekatan yang kolaboratif dan terkoordinasi lintas program serta lintas profesi. Oleh karena itu, saya menerapkan model kepemimpinan demokratis, yang mendorong keterlibatan aktif dari semua pihak, mendengarkan masukan dari berbagai elemen tim, dan memfasilitasi keputusan bersama yang berorientasi pada solusi.

       Sebagai pemimpin dengan karakteristik kepribadian ISFP-T, saya memilih untuk memimpin dengan empati dan keteladanan, bukan dengan dominasi. Dalam program penanganan TB-HIV, saya berupaya untuk menciptakan ruang komunikasi yang terbuka, mendorong diskusi rutin antarprogram serta memastikan bahwa setiap anggota tim merasa memiliki peran penting dalam mencapai target program. Beberapa langkah yang saya lakukan dalam kepemimpinan ini meliputi:

  • Advokasi internal dan eksternal, dengan mengajak pihak manajemen, tokoh masyarakat, dan lintas sektor (seperti Dinas Kesehatan, LSM, dan tokoh agama) untuk mendukung program TB-HIV secara aktif.
  • Penguatan tim lintas program melalui pelatihan bersama, diskusi kasus, dan refleksi kinerja.
  • Koordinasi lintas sektor dan interprofesional, dengan menjadwalkan pertemuan berkala yang bersifat dialogis, bukan hanya formalitas.
  • Kolaborasi yang humanis, di mana tenaga kesehatan saling memahami peran dan tantangan satu sama lain.
  • Monitoring dan evaluasi partisipatif, dengan memberikan ruang bagi tim untuk menilai bersama capaian dan hambatan yang dialami secara terbuka.

Tantangan yang mungkin terjadi:

  • Kurangnya partisipasi aktif dari anggota tim.
  • Koordinasi antarprogram dan lintas sektor yang belum optimal karena perbedaan prioritas atau komunikasi yang terputus
  • Stigma terhadap pasien TB-HIV yang masih tinggi di masyarakat, memengaruhi pendekatan layanan yang holistik.
  • Keterbatasan sumber daya, baik dari segi SDM, logistik, maupun waktu pelaksanaan.

Peluang dan upaya antisipatif:

  • Meningkatkan rasa kepemilikan tim dengan melibatkan mereka sejak tahap perencanaan
  • Membangun budaya diskusi dan apresiasi antarprofesi, sehingga suasana kerja menjadi saling mendukung.
  • Menggunakan pendekatan personal dan empatik kepada pasien dan masyarakat, sesuai karakter ISFP, untuk mengurangi stigma dan membangun kepercayaan.
  • Memanfaatkan teknologi sederhana seperti grup komunikasi daring (WhatsApp, Google Meet) untuk mempercepat koordinasi lintas sektor.

Aplikasi Model Kepemimpinan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut

        Dalam fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL), keselamatan pasien merupakan elemen kunci dalam peningkatan mutu layanan. Dari enam sasaran keselamatan pasien yang telah ditetapkan, saya memilih untuk memfokuskan pada sasaran kedua: Komunikasi Efektif, karena komunikasi yang terbuka dan jelas merupakan pondasi utama dalam mencegah berbagai kesalahan medis, termasuk salah pemberian obat, kesalahan identifikasi, hingga risiko tindakan bedah yang keliru.

        Sebagai individu dengan kepribadian ISFP-T, saya memiliki kecenderungan untuk mendengarkan secara aktif, merespons dengan empati, dan membangun hubungan interpersonal yang kuat. Ini membuat saya cocok menerapkan model kepemimpinan demokratis dalam konteks peningkatan mutu pelayanan kesehatan di FKTL, di mana keselamatan kerja tidak hanya ditentukan oleh sistem, tetapi juga oleh kepercayaan dan komunikasi antarpetugas.

Dalam model ini, saya mendorong:

  • Briefing dan debriefing rutin antarshift untuk mengevaluasi alur komunikasi klini.
  • Penerapan check and recheck pada proses pelaporan status pasien dan pemberian instruksi antarprofesi.
  • Forum refleksi tim yang bersifat non-hierarkis, di mana perawat, dokter, farmasis, dan staf lain bebas menyampaikan pengalaman serta hambatan tanpa rasa takut disalahkan
  • Pembuatan panduan komunikasi sederhana (misalnya teknik SBAR) dan pelatihan penggunaan bahasa yang jelas, ringkas, dan sopan antarprofesi.

Tantangan yang mungkin dihadapi:

  • Budaya organisasi yang hierarkis, di mana komunikasi hanya berjalan satu arah dan bawahan enggan menyampaikan pendapat atau kesalahan.
  • Kurangnya waktu dan tenaga untuk membangun forum komunikasi rutin, terutama di unit rawat inap atau IGD yang padat.
  • Kurangnya pelatihan komunikasi klinis lintas profesi, terutama untuk tenaga non-medis.

Peluang dan upaya antisipatif:

  • Membangun budaya open communication dan no-blame culture, agar staf merasa aman untuk berbicara dan melapor.
  • Menggunakan pendekatan coaching dan mentoring bagi tenaga kesehatan baru agar terbiasa dengan pola komunikasi yang efektif dan aman.
  • Mengintegrasikan komunikasi efektif ke dalam SOP kerja harian dan proses audit internal mutu rumah sakit.
  • Menumbuhkan semangat kolektif dengan pendekatan empatik dan suportif, khas kepemimpinan ISFP-T, agar semua pihak merasa dihargai dan terlibat.

Kesimpulan

        Kepemimpinan tidak selalu harus bersuara lantang atau tampil dominan. Bagi pribadi dengan kepribadian ISFP-T (The Adventurer) seperti saya, kepemimpinan lebih banyak dijalankan melalui pendekatan empatik, aksi nyata, dan hubungan personal yang kuat. Model kepemimpinan demokratis menjadi pilihan yang selaras karena menekankan pada partisipasi, dialog terbuka, dan kolaborasi dalam pengambilan keputusan.

        Dalam konteks fasilitas kesehatan tingkat pertama, kepemimpinan demokratis memungkinkan pelaksanaan program lintas sektor seperti penanganan TB-HIV berjalan lebih efektif melalui advokasi yang inklusif, koordinasi yang terbuka, dan monitoring yang partisipatif. Sementara itu, di fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL), model kepemimpinan ini mendukung peningkatan mutu pelayanan, khususnya dalam aspek komunikasi efektif, yang menjadi kunci dalam menjamin keselamatan pasien dan petugas kesehatan.

    Dengan mengedepankan ketenangan, empati, dan keterlibatan aktif dari semua pihak, gaya kepemimpinan ala si introvert justru mampu menjadi kekuatan transformatif dalam sistem pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan. 

Daftar Pustaka

  1. ISFP Personality (Adventurer) | 16 Personalities [Internet]. [cited 2025 Jul 3]. Available from: https://www.16personalities.com/isfp-personality
  2. Northouse PG. Leadership: Theory and Practice. SAGE Publications; 2018. 338 p.

Lampiran


Pernyataan orisinalitas karya tulis

Saya menyatakan bahwa seluruh konten dan sumber referensi yang digunakan dalam pengerjaan tugas atau naskah tersebut merupakan hasil karya sendiri dan menggunakan sumber informasi yang valid dan reliabel. Jika ditemukan adanya kecurangan, penggunaan bantuan teknologi dan tindakan plagiasi terhadap pekerjaan orang lain maka saya bersedia mengulang dan pengurangan nilai perilaku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

WARTA TALENTA PRO PATRIA ET HUMANITATE DI TANAH MINAHASA

INTP-T Sebagai Pemimpin

Logic Champion as a Leader